24JUN
EFEK PENGALENGAN MAKANAN TERHADAP
KONDISI KESEHATAN PADA MASYARAKAT INDONESIA
EFEK PENGALENGAN MAKANAN TERHADAP KONDISI KESEHATAN
PADA MASYARAKAT INDONESIA
PENDAHULUAN
Sebagai
kebutuhan dasar manusia makanan yang kita konsumsi hendaknya bersih dan
memiliki kandungan gizi yang lengkap. Perkembangan industri pangan yang
memberikan perubahan baik secara kualitatif atau kuantitatif pada makanan
menyebabkan perkembangan bahan makanan maju pesat, baik itu untuk pengawet,
perasa, tekstur/warna dari makanan. Konsumen membutuhkan makanan yang segar,
murah dan mudah disajikan sebagai tuntutan zaman yang makin praktis. Tuntutan
kepentingan ekonomi dan semakin kompleksnya permasalahan pangan diikuti dengan
pertumbuhan bahan-bahan kimia sebagai pengawet. Menurut hasil penelitian
terdapat 2.500 variasi kimia. Bahan-bahan tambahan tersebut dapat mempengaruhi
kualitas bahan makanan, penambahan bahan tambahan tersebut dapat memperpanjang
waktu kadaluarsa bahan pangan, meningkatkan aroma dan penampilan bahan pangan.
Dengan pengawetan, makanan bisa disimpan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan
dan sangat menguntungkan produsen.
Pada
era globalisasi ini dengan kemajuan teknologi, produk makanan cepat saji yang
praktis dibawa-bawa dan juga cepat dalam penyajianya dalam kaleng semakin
sering kita jumpai di pasaran. Pengalengan merupakan perlakuan pengawetan
makanan, penyegelan dalam kaleng atau botol steril, dan didihkan pada wadah
untuk membunuh atau melemahkan bakteri yang tersisa sebagai bentuk sterilisasi.
Dalam pengawetan berupa pengalengan daya simpannya yang relatif lama, makanan
kaleng juga praktis dalam proses penyajiannya. Sehingga tak heran bila dapur
ibu pun menjadi akrab dengan kehadiran makanan kaleng ini. Makanan yang
diawetkan dalam kaleng ini diolah melalui proses sterilisasi dengan tujuan
untuk menghilangkan berbagai kontaminan yang dapat mencemari produk. Proses
sterilisasi pada pengalengan bahan makanan biasanya dilakukan melalui pemanasan
dengan suhu 121ï½°C selama 20-40 menit. Namun untuk sayuran dan buah-buahan yang memiliki pH
lebih rendah dari daging digunakan suhu yang lebih rendah dengan waktu
pemanasan yang lebih singkat. Lalu kaleng ditutup dengan sangat rapat sehingga
tidak dapat dilalui oleh udara, air ataupun
mikroba.
Mulai
merebaknya makanan kaleng di Indonesia disamping bermanfaat ternyata menyimpan
bahaya lain yang mengancam para konsumenya. Bahaya ini timbul bukan saja semata
karena masalah pengolahan dan pengemasanya saja tetapi terkadang juga masalah
masyarakat kita yang tidak memperhatikan apakah makanan yang kita beli masih
layak konsumsi atau tidak.
Umumnya
masalah produsen adalah kurang memperhatikan masalah kwalitas dan hanya
cenderung mengejar keuntungan saja. Selain itu terkadang produsen tidak
mencantumkan komposisi makanan atau tidak ada alamat produsen, tidak ada label
kode barang, atau tidak ada tanggal kada luarsanya. Sedang untuk produk impor
terkadang ditemukan kaleng masih berlebel bahasa asing. Label tidak menempel
pada kemasan atau tanggal kadaluarsa bukan dalam huruf latin
Terkadang
keseluruhan proses pengalengan bisa dikatakan aseptis, namun tidak menutup
kemungkinan untuk terjadinya kerusakan. Entah itu karena berlalunya masa simpan
alias kadaluwarsa ataupun karena kurang sempurnanya proses pengalengan. Suhu
dan waktu pemanasan yang tidak memadai selama sterilisasi dapat mengakibatkan
tumbuhnya Clostridium botulinum. Clostridium botulinum merupakan bakteri
thermophilik (tahan panas) yang dapat hidup dalam kondisi anaerobik (tidak ada
oksigen). Bakteri ini menghasilkan toksin (racun) yang dapat menyerang saraf
(karena menyerang saraf maka disebut neurotoksin). Gejala keracunan ini
(botulism) dapat terjadi selang beberapa jam sampai satu atau dua hari setelah
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Clostridium botulinum. Beberapa gejala
yang timbul antara lain mulut kering, penglihatan kabur, tenggorokan kaku,
kejang-kejang dan dapat mengakibatkan penderita meninggal karena sukar
bernafas. Ada tiga jenis botulism yang biasa dijumpai, yaitu foodborne botulism
(terjadi karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh Clostridium
botulinum) seperti pada kasus di atas, wound botulism (karena ada luka yang
terkontaminasi oleh Clostridium botulinum) dan infant botulism (terjadi pada
anak-anak yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi Clostridium botulinum).
Kerusakan
pada makanan kaleng ada yang dapat dilihat dari penampakan kalengnya ada juga
yang tidak terlihat secara visual. Kerusakan produk kalengan dapat digolongkan
menjadi empat, yaitu :
1. Flat Sour, permukaan kaleng tetap datar tapi produknya
sudah bau asam yang menusuk. Ini disebabkan aktivitas spora bakteri tahan panas
yang tidak terhancurkan selama proses sterilisasi.
2. Flipper, permukaan kaleng kelihatan datar, namun bila
salah satu ujung kaleng ditekan, ujung lainnya akan cembung.
3. Springer, salah satu ujung kaleng sudah cembung secara
permanen, sedang ujung yang lain sudah cembung. Jika ditekan akan cembung ke
arah berlawanan.
4. Soft Swell, kedua ujung kaleng sudah cembung, namun
belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam.
5. Hard Swell, kedua ujung permukaan kaleng cembung dan
begitu keras sehingga tidak bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari.
Satu
hal yang terkadang kita lupa bahwa ternyata makanan kaleng ini juga memiliki
beberapa kekurangan, seperti penurunan gizi produk (akibat pemanasan suhu
tinggi saat sterilisasi), tekstur yang tak lagi segar (terlihat pada sayur dan
buah kalengan) dan tak jarang timbul rasa seperti rasa besi yang sangat
mengganggu.
Namun,
ada juga fakta bahwa makanan kalengan juga memiliki kandungan nutrisi yang
baik, tak kalah dengan makanan segar. Sebuah studi yang dilakukan Departemen
Ilmu Pangan dan Gizi University of Ilinois pada tahun 1997 menemukan bahwa buah
dan sayuran kalengan memiliki banyak serat dan vitamin, setara dengan makanan
segar. Seperti, labu dalam kaleng memiliki vitamin A 540% dari asupan harian
yang direkomendasikan, sedangkan vitamin A pada labu segar hanya 26%.
Banyak
buah dan sayuran segar yang kehilangan vitamin saat dipetik dan dsimpan dalam
waktu 2 minggu, sebelum sayuran tiba dipasar untuk dibeli konsumen. Biasanya
sayuran dan buah segar dipanen sebelum masak benar, sehingga dipakai cara lain
untuk mematangkannya. Namun, makanan kalengan justru dipanen pada waktu matang
dan langsung diolah sehingga kandungan vitamin terjaga.
SEJARAH PENGALENGAN MAKANAN
Sejarah
pengalengan dimulai ketika di abad ke-18, kaisar Perancis saat itu, Napoleon
Bonaparte sedang memikirkan cara untuk menyediakan makanan yang bernutrisi
cukup bagi pasukannya. Sebabnya adalah medan tempur pasukannya yang luas
menyebabkan sejumlah makanan segar menjadi rusak selama dalam perjalanan
logistik sehingga banyak dari mereka yang meninggal akibat kelaparan maupun
defisiensi zat-zat gizi tertentu. Napoleon lalu membuat sayembara untuk
menemukan metode paling praktis dalam menyediakan makanan yang segar dan sehat
bagi para tentara dan pelaut Perancis.
Kemudian,
tonggak dari perkembangan metode pengalengan modern adalah pemakaian logam
sebagai bahan dari wadah penyimpanan makanan yang diawetkan. Pengalengan
pertama memakai logam pertama kali dilakukan pada tahun 1819 oleh Ezra Dagget,
di New York untuk menyimpan ikan. Tahun berikutnya, pengalengan dilakukan pada
produk-produk pertanian seperti buah-buahan. Sejak itu, metode pengalengan
dengan wadah logam menjadi salah satu metode pengawetan modern terpopuler yang
digunakan oleh manusia.
MEKANISME PENGALENGAN MAKANAN
1.
Penanganan Bahan Kemasan
Standar
pengalengan makanan secara komersial sangat tinggi. Namun apabila terjadi
kecerobohan serta kesalahan dalam penanganan kaleng/kemasan selama pengolahan
atau penyimpanan, maka akan menyebabkan kebocoran baik yang terjadi selama
pemanasan atau sesudahnya.
2.
Penanganan Kaleng Kosong
Penanganan
kemasan kaleng sebelum pengolahan meliputi penanganan kaleng kosong. Penanganan
kaleng yang kasar dapat menyebabkan kebocoran kaleng. Kesempurnaan bentuk
kaleng perlu mendapat perhatian, karena tonjolan bagian permukaan/mulut kaleng
yang berhubungan dengan tutup dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan proses
penutupan dan dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran.
3.
Penanganan Selama Penutupan Kaleng (double seam)
Hal
penting yang perlu diperhatikan dalam hal penanganan kaleng adalah bahwa selalu
ada kemungkinan bakteri akan masuk kembali dan mencemari produk yang telah disterilisasi.
Oleh karena itu integritas sambungan dan penutupan kaleng (double seam)
merupakan faktor penting.
4.
Penanganan Selama Proses Termal
Pemeriksaan
alat pengangkutan kaleng menuju retort harus diperiksa secara periodik untuk
meyakinkan kelancaran proses dan tidak merusakkan kemasan kaleng.
5.
Penanganan Selama Pendinginan/Cooling
Prosedur
pendinginan perlu dibakukan, terutama untuk mengontrol perubahan/perbedaan
tekanan yang terjadi karena proses pendinginan yang terlalu tiba-tiba.
6.
Penanganan Kaleng Setelah Pendinginan
Setelah
pendinginan, kaleng dalam keranjang retort dikeluarkan dari retort. Pada tahap
selanjutnya, kebersihan atau sanitasi peralatan yang kontak dengan kemasan
kaleng menjadi sangat penting.
DAMPAK PENGALENGAN
1. Swell
2. Interaksi antara bahan dasar kaleng dengan makanan.
Kerusakan makanan kaleng akibat interaksi antara logam pembuat kaleng dengan
makanan
3. kehilangan zat gizi
4. Kerusakan biologis
5.Botulisme
(kontaminasi oleh spora C. botulinum)
Dari
kelima dampak pengalengan diatas, dapat diketahui bahwa dampak Botulisme yang
dapat memberikan dampak kurang baik bagi kondisi kesehatan manusia. Botulisme
(Latin,”botulus”, “sosis”) juga dikenal sebagai intoksikasi botulinus adalah
penyakit lumpuh yang serius namun jarang disebabkan oleh toksin botulinum, yang
dihasilkan oleh bakteri””Clostridium botulinum. Toksin tersebut memasuki tubuh
dalam salah satu dari empat cara: oleh kolonisasi pada saluran pencernaan oleh
bakteri pada anak-anak (botulisme pada bayi) atau orang dewasa (toksemia usus
dewasa), dengan konsumsi toksin dari makanan (foodborne botulisme) atau dengan
kontaminasi luka oleh bakteri (botulisme luka).
IDENTIFIKASI BOTULISME
Botulisme
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peracunan makanan atau mabuk makanan
oleh bakteri. Organisme penyebabnya ialah Clostridium botulinum, yang
menghasilkan neurotoksin yang tidak tahan panas. Penyakit ini terjadi karena
memakan toksin botulinum yang terdapat pada makanan yang diawetkan dengan cara yang
kurang sempurna. Tetapi botulisme dapat juga disebabkan karena kontaminasi luka
oleh C. Botulinum seraya tumbuh pada jaringan yang mati.
Klasifikasi
Ilmiah
Kingdom
: Bacteria
Divisio
: Firmicutes
Kelas
: Clostridia
Orde
: Clostridiales
Famili
: Clostridiaceae
Genus
: Clostridium
Spesies
: Clostridium botulinum
Clostridium botulinum adalah
basilus anaerobik Gram positif yang menghasilkan spora tahan panas. Bakteri ini
dapat tumbuh baik pada media biakan biasa. Pertumbuhan paling subur terjadi
pada 250C, tetapi juga tumbuh baik pada 20 sampai 350C. Sporanya berbentuk
bulat telur dan letaknya subterminal, dan sedikit membengkak sehingga
memberikan bentuk menggelembung pada sel. Clostridium botulinum dapat bergerak
dengan flagel peritrik dan tidak membentuk kapsul. Clostridium botulinum
menghasilkan racun syaraf yang berpotensi mematikan yang digunakan dalam bentuk
obat yang diencerkan dalam Botox, yang digunakan untuk menunda efek kerutan
pada proses penuaan.
Ada
tujuh tipe C.
Botulinum yang dikenali karena perbedaan antigenik
di antara toksin yang dihasilkannya. Tipe C. Botulinum yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah tipe A,
B, E, dan tipe F. Tipe C dan D menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia
yang bukan manusia. Sedangkan tipe G belum diketahui apakah menyebabkan
penyakit atau tidak. Toksin-toksin tersebut sangat spesifik sehingga tiap
antitoksin hanya menetralkan toksinnya sendiri yang spesifik.
Toksin
botulinum adalah racun yang sangat ampuh. Sebagai contoh, dosis letal bagi
toksin tipe A pada tikus diperkirakan 0,000000033 mg; berarti 1 gr toksin dapat
membunuh 33 milyar tikus. Racun ini menyerang urat syaraf, menyebabkan
kelumpuhan pada faring dan diafragma. Kerja toksin ini ialah menghambat
pembebasan asetilkolin oleh serabut syaraf ketika impuls syaraf lewat di
sepanjang syaraf periferal; ini merupakan akibat terikatnya toksin pada bagian
ujung syaraf eferen. Karena antitoksin tidak dapat menetralkan toksin bila
sudah terikat, maka pengobatan dengan antitoksin harus diberikan sesegera
mungkin bila penyakit tersebut diduga botulisme. Tempat produksi toksin berbeda
untuk tiap bentuk, tetapi semua bentuk memberikan gejala lumpuh layuh yang
diakibatkan oleh racun saraf botulinum. Botulisme saluran pencernaan diusulkan
sebagai identitas penyakit baru dari apa yang sebelumnya disebut Botulisme
bayi. Nama baru secara resmi diterima pada pertengahan tahun 1999, dan akan
digunakan secara umum di bab ini sebagai pengganti istilah botulisme bayi.
Foodborne botulism adalah keracunan berat yang diakibatkan karena menelan racun
yang terbentuk di dalam makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini ditandai
dengan gangguan nervus cranialis bilateral akut dan melemahnya anggota tubuh
disertai kelumpuhan. Gangguan visual (kabur dan dobel), disfagia dan mulut
kering sering merupakan keluhan pertama. Gejala-gejala ini bisa meluas berupa
layuh simetris pada orang yang waspada akan gejala-gejala ini. Muntah dan
konstipasi atau diare mungkin muncul pada awalnya. Demam tidak terjadi bila
tidak ada komplikasi Infeksi lain. CFR di AS 5 – 10 %. Pemulihan bisa
berlangsung beberapa bulan.
PENYEBAB
Bakteri
Clostridium botulinum memiliki bentuk spora. Spora ini dapat bertahan dalam
keadaan dorman (tidur) selama beberapa tahun dan tahan tehadap kerusakan.Jika
lingkungan di sekitarnya lembab, terdapat cukup makanan dan tidak ada oksigen,
spora akan mulai tumbuh dan menghasilkan toksin.Beberapa toksin yang dihasilkan
Clostridium botulinum memiliki kadar protein yang tinggi, yang tahan terhadap
pengrusakan oleh enzim pelindung usus.Jika makan makanan yang tercemar, racun
masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, menyebabkan foodborne
botulism. Sumber utama dari botulisme ini adalah makanan kalengan.Sayuran,
ikan, buah dan rempah-rempah juga merupakan sumber penyakit ini.Demikian juga
halnya dengan daging, produki susu, daging babi dan unggas.
Wound
botulism terjadi jika luka terinfeksi oleh Clostridium botulinum.Di dalam luka
ini, bakteri menghasilkan toksin yang kemudian diserap masuk ke dalam aliran
darah dan akhirnya menimbulkan gejala.Infant botulism sering terjadi pada bayi
berumur 2-3 bulan.Berbeda dengan foodborne botulism, infant botulism tidak
disebabkan karena menelan racun yang sudah terbentuk sebelumnya. Botulisme ini
disebabkan karena makan makanan yang mengandung spora, yang kemudian tumbuh
dalam usus bayi dan menghasilkan racun.Penyebabnya tidak diketahui, tapi
beberapa kasus berhubungan dengan pemberian madu.Clostridium botulinum banyak
ditemukan di lingkungan dan banyak kasus yang merupakan akibat dari terhisapnya
sejumlah kecil debu atau tanah.
GEJALA
Gejalanya
terjadi tiba-tiba, biasanya 18-36 jam setelah toksin masuk, tapi dapat terjadi
4 jam atau paling lambat 8 hari setelah toksin masuk. Makin banyak toksin yang
masuk, makin cepat seseorang akan sakit.Pada umumnya, seseorang yang menjadi
sakit dalam 24 jam setelah makan makanan yang tercemar, akan mengalami penyakit
yang sangat parah.
Gejala
pertama biasanya berupa mulut kering, penglihatan ganda, penurunan kelopak mata
dan ketidakmampuan untuk melihat secara fokus terhadap objek yang dekat.Refleks
pupil berkurang atau tidak ada sama sekali.
Pada
beberapa penderita, gejala aawalnya adalah mual, muntah, kram perut dan
diare. Pada penderita lainnya gejala-gejala saluran pencernaan ini tidak
muncul, terutama pada penderita wound botulism.Penderita mengalami kesulitan
untuk berbicara dan menelan.Kesulitan menelan dapat menyebabkan terhirupnya
makanan ke dalam saluran pernafasan dan menimbulkan pneumonia aspirasi.Otot
lengan, tungkai dan otot-otot pernafasan akan melemah.Kegagalan saraf terutama
mempengaruhi kekuatan otot.Pada 2/3 penderita infant botulism, konstipasi
(sembelit) merupakan gejala awal. Kemudian terjadi kelumpuhan pada saraf dan
otot, yang dimulai dari wajah dan kepala, akhirnya sampai ke lengan, tungkai
dan otot-otot pernafasan.Kerusakan saraf bisa hanya mengenai satu sisi tubuh.
Masalah yang ditimbulkan bervariasi, mulai dari kelesuan yang ringan dan
kesulitan menelan, sampai pada kehilangan ketegangan otot yang berat dan
gangguan pernafasan.
DIAGNOSA
Pada
foodborne botulisme, diagnosis ditegakkan berdasarkan pola yang khas dari
gangguan saraf dan otot. Tetapi gejala ini sering dikelirukan dengan penyebab
lain dari kelumpuhan, misalnya stroke.
Adanya
makanan yang diduga sebagai sumber kelainan ini juga merupakan petunjuk
tambahan. Jika botulisme terjadi pada 2 orang atau lebih yang memakan makanan
yang sama dan di tempat yang sama, maka akan lebih mudah untuk menegakkan
diagnosis.Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan darah untuk
menemukan adanya toksin atau biakan contoh tinja untuk menumbuhkan bakteri
penyebabnya.Toksin juga dapat diidentifikasi dalam makanan yang dicurigai.
Elektromiografi
(pemeriksaan untuk menguji aktivitas listrik dari otot) menujukkan kontraksi
otot yang abnormal setelah diberikan rangsangan listrik. Tapi hal ini tidak
ditemukan pada setiap kasus botulisme.Diagnosis wound botulism diperkuat dengan
ditemukannya toksin dalam darah atau dengan membiakkan bakteri dalam contoh
jaringan yang terluka.Ditemukannya bakteri atau toksinnya dalam contoh tinja
bayi, akan memperkuat diagnosis infant botulisme.
PENGOBATAN
Penderita
botulisme harus segera dibawa ke rumah sakit.Pengobatannya segera dilakukan
meskipun belum diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium untuk memperkuat
diagnosis.
Untuk
mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan:
-
perangsangan muntah
-
pengosongan lambung melalui lavase lambung
-
pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus.
Bahaya
terbesar dari botulisme ini adalah masalah pernafasan. Tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara
rutin.Jika gangguan pernafasan mulai terjadi, penderita dibawa ke ruang
intensif dan dapat digunakan alat bantu pernafasan. Perawatan intensif telah
mengurangi angka kematian karena botulisme, dari 90% pada awal tahun 1900
sekarang menjadi 10%.Mungkin pemberian makanan harus dilakukan melalui infus.
Pemberian
antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan, tetapi dapat memperlambat atau
menghentikan kerusakan fisik dan mental yang lebih lanjut, sehingga tubuh dapat
mengadakan perbaikan selama beberapa bulan.Antitoksin diberikan sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakkan.Pemberian ini pada umumnya efektif bila
dilakukan dalam waktu 72 jam setelah terjadinya gejala.Antitoksin tidak
dianjurkan untuk diberikan pada bayi, karena efektivitasnya pada infant
botulism masih belum terbukti.
PENCEGAHAN
Spora
sangat tahan terhadap pemanasan dan dapat tetap hidup selama beberapa jam pada
proses perebusan. Tetapi toksinnya dapat hancur dengan pemanasan, Karena itu
memasak makanan pada suhu 80? Celsius selama 30 menit, bisa mencegah foodborne
botulism.
Memasak
makanan sebelum memakannya, hampir selalu dapat mencegah terjadinya foodborne
botulism. Tetapi makanan yang tidak dimasak dengan sempurna, bisa menyebabkan
botulisme jika disimpan setelah dimasak, karena bakteri dapat menghasilkan
toksin pada suhu di bawah 3? Celsius (suhu lemari pendingin), untuk memanaskan
makanan kaleng sebelum disajikan. Makanan kaleng yang sudah rusak bisa
mematikan dan harus dibuang. Bila kalengnya penyok atau bocor, harus segera
dibuang.Toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui saluran
pencernaan, udara maupun penyerapan melalui mata atau luka di kulit, bisa
menyebabkan penyakit yang serius. Karena itu, makanan yang mungkin sudah
tercemar, sebaiknya segera dibuang.Hindari kontak kulit dengan penderita dan
selalu mencuci tangan segera setelah mengolah makanan.
REFERENSI
Budiyanto,
MAK, 2001. Peranan Mikroorganisme dalam Kehidupan Kita. Universitas
Muhammadiyah Malang; UMM Press.
Elvira,
Vivi. 2008. Racun Dunia. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/
05/07-060.doc. Diakses tanggal 13 Juni 2011
Hastomo.2011.
Apa itu Botulisme?.Jakarta. Media Aesculapius
Jawetz
E. Adelberg EA and Melniek J. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan
Enugroho E & Maulana RF. Edisi ke-20. Jakarta: EGC
http://www.pom.go.id.
Badan Pengawasan Obat Dan Makanan.
http://www.wikipedia.org/pengalengan
makanan
http://www.foodreference.com/html/artcanninghistory.html
http://www.ehow.com/how_4928147_can-salmon-fish.html
http://www.news-medical.net/health/What-is-Botulism-%28Indonesian%29.as e the first to like this.
Ardi Wijanarko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar